BERUPAYA DENGAN OPTIMAL UNTUK BERKONTRIBUSI TERHADAP PENDIDIKAN INFORMAL DAN NONFORMAL DI KOTA PADANG PANJANG
Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net

Mainstream Paradigma Dan Multi-Paradigma Dalam Perspektif Tuntutan Bebas Nilai

Senin, 07 Juni 2010 , Posted by PTK-PNF Kota Padang Panjang at Senin, Juni 07, 2010


A.   Pendahuluan
Mainstream Paradigma dan Multi-Paradigma dalam Perspektif  tuntutan bebas nilai  tidaklah mutlak, karena tuntutan agar ilmu pengetahuan bebas nilai dari nilai tertentu, hanya berlaku bagi nilai lain diluar nilai yang menjadi taruhan utama ilmu pengetahuan. Dalam metodologi penelitian secara garis besar dikenal ada dua pendekatan; pertama, dikenal dengan pendekatan mainstream paradigma, dan yang kedua dikenal dengan pendekatan multi-paradigm (non-mainstream). Pendekatan mainstream paradigm lebih dikenal dengan sebutan Paradigma Positivisme, adalah sebuah faham atau pandangan yang menekankan akuntansi pada aspek praktis/sistematis, rasional, empiris, fungsi dan objektivitas yang tinggi dengan mengasumsikan bahwa objek yang diketahui (knower).
Peneliti dan praktisi dalam paradigma ini selalu mencoba untuk melakukan pengukuran-pengukuran (measurements) yang akurat terhadap teori dan praktik akuntansi yang ditelitinya. Pendekatan mainstream paradigm (arus kuat) melihat dan mengukur sebuah realitas kehidupan manusia secara objektif dan terlepas dari subjektivitas (value free). Paradigma Posmodernisme adalah sebuah cara pandang yang mengandung keaneka-ragaman pemikiran yang meliputi Marxisme Barat, strukturalisme Prancis, nihilisme, etnometodologi, romantisisme, populisme dan hermeneutika.
Posmodernisme juga mencoba menyatukan teori (atau praktik) akuntansi yang dianggap dualistik atau dikhotomis dalam dunia modern (seperti; akal dan intuisi, agama dan ilmu, ilmu dan etika, bentuk dan substansi, egoistik dan sltruistik, kompetisif dan kooperasif) ke dalam jaringan sinergis. Dengan demikian posmodernisme bersifat mutually inclusive dan holistik. Pemahaman yang utuh dari multi-paradigma (paradigma posmodernisme) adalah membebaskan seseorang dari pola pikir reduksionis-parsial-mekanis dan mencerahkan seseorang untuk sampai pada kearifan yang menyejukkan.
Oleh karena itu, pola pikir Multi-paradigm menjadi sebuah keniscayaan, dan bukanlah hanya sebatas wacana, sebagaimana yang dituduhkan oleh aliran mainstream-paradigm (positivisme). Multi paradigm dalam melihat dan mengukur sebuah realitas kehidupan manusia lebih bersifat holistik (menyeluruh), artinya bahwa keanekaragaman suatu benda di muka bumi ini agar bernilai tambah (value added) adalah hal yang mutlak tidak bisa terlepas dari realitas sosial dan buah pemikiran manusia, ia syarat dengan nilai (value laden).
Sesungguhnya ilmu pengetahuan pada dirinya sendiri peduli terhadap nilai-nilai tertentu, yaitu nilai kebenaran dan kejujuran. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan tuntutan agar ilmu pengetahuan bebas nilai di sini hanya dimaksudkan bahwa ilmu pengetahuan bebas dari nilai lain di luar nilai-nilai yang diperjuangkan ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan itu sendiri harus tetap peduli pada nilai kebenaran dan kejujuran. Pandangan demikian diilhami oleh pandangan dunia (world view) mekanistik-linier Cartesian dan Newtonia.
Dengan perkataan lain bahwa, pandangan ini menganggap keberadaan dunia (sains) bersifat objektif dan bebas nilai. Bersifat objektif dan bebas nilai (value free). Paradigma Cartesian dan Newtonia, di satu sisi berhasil mengembangkan sains dan teknologi yang memudahkan kehidupan manusia, namun disisi lain mereduksi kompleksitas dan kekayaan kehidupan manusia sendiri. Terhadap alam telah melahirkan pencemaran di udara, air, tanah yang mengancam balik kehidupan manusia dan seluruh makhluk.
Setiabudi dan Triyuwono mengkritisi hal ini dengan menggambarkan sebagai ketidak-berdayaan manusia dalam memaknai kehidupan yang diakibatkan oleh pola lintasan kehidupan yang telah tersusun begitu mekanistik dan linier tetapi menantang. Dengan sangat jelas, orientasi ke depan yang ingin dicapai hanya bermuara pada kehidupan materi belaka. Mengkritisi ketidakberdayaan manusia sebagaimana yang telah diutarakan di atas, telah mencerminkan posisi superior yang dicapai Barat dalam bidang ilmu pengetahuan (di dalamnya ekonomi-akuntansi) dan pemikiran murni hasil intelektual manusia yang tidak ada urusan sama sekali dengan wahyu Ilahi.
Permasalahan yang muncul adalah, ketidakmampuan menolak penyesuaian diri dan ketidak seimbangan, hal ini disebabkan oleh tidak diterapkannya metode empiris untuk menyelesaikan konflik antara kesejahteraan masyarakat pada satu sisi dengan keinginan dan kepentingan diri pribadi pada sisi yang lain. Paradigma keberadaan dunia (sains) bersifat objektif dan bebas nilai (value free) yang mendominasi pemikiran atau karakter dapat terjadi akibat keterbatasan pemahaman manusia akan kehidupannya di akhirat kelak.
B.    Konsep Ilmu Pengetahun
Dalam konteks ini Immanuel Kant berpendapat bahwa, manusia tidak memikirkan dunia noumena, sedangkan reason dan sains yang sebatas fenomena tidak dapat menjangkaunya. Makna yang terkandung dalam pikiran Kant adalah bahwa ilmu pengetahuan merupakan sebuah perspektif yang membuat peneliti peka terhadap dunia yang alami, fenomental tetapi perspektif ini tidak dapat membuat diri manusia peka terhadap dunia yang lain. Manusia memiliki dua dunia sekaligus, yaitu fenomena dan noumena. Fenomena dalam konteks ini digambarkan manusia terkait dengan hukum-hukum alam, terbuka bagi penyelidikan ilmu pengetahuan dan pada sebab alami, sedangkan dalam konteks noumene, manusia mempunyai jiwa, paling tidak sebagian dari diri manusia memiliki kemauan bebas.
Tak diragukan, bahwa apabila manusia ingin mengikuti prinsip yang pasti dalam kehidupan yang berwatak religius atau bukan ia harus mengambil pendekatan yang terdefinisi dengan baik. Dengan demikian, seseorang harus mengelakkan keterlibatan-keterlibatan yang mungkin sesuai dengan hasratnya (kepentingan) yang sesaat tetapi bertentangan dengan prinsip-prinsip dan tujuan hidupnya. Dari pengendalian dan pendisiplinan diri adalah hakiki yang penting dalam kehidupan setiap orang yang hendak menjalani kehidupan manusia yang rasional.
Ketidak berdayaan manusia sebagai akibat dari arus modernitas akan mengantarkan manusia pada satu titik menghawatirkan. Memperlakukan manusia bagaikan komonitas mati (mesin dan robot) merupakan hal yang bertentangan dengan sifat kodrati manusia. Jeritan manusia tergambar diberbagai dimensi keilmuan dan pengetahuan yang di dalamnya ada pada ekonomi-akuntansi. Etika utilitarianism yang dijadikan sandaran keilmuannya, telah mengantarkan pada tatanan interaksi yang sangat radikal dan eksploitatif. Ukuran dan takaran yang dijadikan pijakan hanya keuntungan dalam ukuran materi semata, tanpa menghiraukan tatanan sosial masyarakat sekitarnya. Paparan singkat di atas, mengantarkan kita pada satu perenungan yang panjang guna melakukan pengembalian nilai-nilai kodrati manusia pada posisi yang sebenarnya. Dalam konteks ini, Islam memandang bahwa kehadiran manusia di muka bumi sebagai khalifah. Artinya, kehadiran manusia di muka bumi memiliki tugas yang mulia sebagai seorang pemimpin yang mampu memberikan kesejahteraan, kedamaian, keadilan dan keseimbangan masyarakat dan alam semesta. Transformasi nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan masyarakat sebagai makhluk sosial menjadi sangat penting dan relevan untuk menjadikan bukti Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Dalam kaitannya dengan ilmu sosial transformatif kritis, Kuntowijoyo menawarkan konsep ilmu sosial transformatif yaitu, “Ilmu Sosial Profetik”. Ilmu sosial profetik itu sendiri menurut Kuntowijoyo merupakan manivestasi dari Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 110. Adapun nilai yang tergambar dalam dalam ilmu sosial profetik ada empat hal pokok, yaitu; nilai humanis, emasipatoris, transendental dan teleologikal. Gagasan transformasi sosial yang diwacanakan Kuntowijoyo dengam ilmu sosial profetiknya (humanis, emasipatoris, transendental dan teleologikal) telah melahirkan enam gagasan utama yaitu: Pertama, Islam sebagai agama ideologi, tuntunan hidup yang memiliki kepentingan pada pengembangan filsafat, perubahan sosial terhadap masyarakat sesuai visi dan cita-cita luhurnya. Kedua, transformasi sosial yang dibangun dalam Islam merupakan jawaban atas pemahaman amar ma’ruf nahi mungkar, yang dijabarkan dalam nilai humanis, emansipatoris dan liberasi (pembebasan).
Ketiga, transformasi sosial yang dilakukan dilandasi dengan prinsip dasar Islam, sehingga menjadi langkah praktis bagi proses realisasi dari upaya-upaya transformatif. Artinya, diperlukan penerjemahan ide-ide normatif Islam menjadi perangkat ilmu sosial metodologis yang mampu menjelaskan realitas sosial secara sosiologis dan memberikan jalan keluarnya. Keempat sebagai konsekuensi dari transformasi pada ilmu sosial metodologis, maka proses transformasi sosial haruslah diikuti oleh proses intelektual dalam wilayah-wilayah kognitif untuk Islam. Artinya, transfromasi sosial yang dilakukan harus mampu membawa kepada tatanan intelektual umat Islam untuk menuju pada kesadaran ilmiah, sehingga diharapkan nantinya mampu memberikan kerja nyata bagi perubahan sosial yang lebih baik.
Kelima, sebagai jawaban keilmiahan dalam transformasi sosial, maka perumusan teori sosial yang dilakukan merupakan sinergi dua kekuatan besar normatif-empirik. Artinya, ilmu sosial Islam selain merujuk pada nilai normatif, juga seharusnya mampu menjelaskan realitas sosial empirik masyarakat. Keenam, dengan demikian ilmu sosial Islam haruslah berfungsi sebagai profetik. Artinya, ilmu sosial Islam benar-benar secara konkrit berfungsi humanis, emasipatoris, transendental dan teleologikal.
Gagasan transformasi ilmu sosial Islam yang digambarkan dalam “ilmu Siosial profetik”, memberikan pemahaman yang sangat luhur dalam konteks kedikdayaan modernitas yang sangat angkuh. Ilmu Siosial profetik yang berfungsi tidak hanya sebagai suatu cara untuk menjelaskan dan mengubah realitas sosial, melainkan memberikan petunjuk (kompas) ke arah mana transformasi akan dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Dengan konsep yang demikian, tentunya dapat diterapkan dalam setiap transformasi tatanan sosial masyarakat (ekonomi akuntansi).
Sementara sebagian besar masyarakat mengalami proses marjinalisasi ekonomi dan peminggiran politik. Sehingga berdasarkan tuntutan Alquran sudah semestinya melakukan pembelaan sosial terhadap kaum yang lemah dan tertindas (mustad’afin), maka sudah seharusnya kesadaran kognitif umat Islam dengan basis orientasi ilmu sosial profetik mampu melihat realitas sosial dan melakukan pembelaan terhadap kelompok yang tertindas, dan terpinggirkan dalam proses pembangunan.
C.    Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan modern yang saat ini dihasilkan oleh peradaban Barat tidak serta-merta harus diterapkan di dunia Muslim. Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden). Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan.
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari terdapatnya persamaan antara Islam dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.Wahyu merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan empirisesme. Tanpa Wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang otentik (science is the sole authentic knowledge). Tanpa Wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya, kesimpulan kepada fenomena akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tanpa Wahyu, realitas yang dipahami hanya terbatas kepada alam nyata ini yang dianggap satu-satunya realitas. Islam adalah agama sekaligus peradaban. Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memiliki pandangan-hidup mutlaknya sendiri, merangkumi persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta dll. Islam memiliki penafsiran ontologis, kosmologis dan psikologis tersendiri terhadap hakikat. Islam menolak ide dekonsekrasi nilai karena merelatifkan semua sistem akhlak.
Mendiagnosa virus yang terkandung dalam Westernisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengobatinya dengan Islamisasi ilmu. Alasannya, tantangan terbesar yang dihadapi kaum Muslimin adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral dan telah diinfus ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis, yang sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Jadi, ilmu pengetahuan modern harus diislamkan.
Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah seperti labelisasi. Selain itu, tidak semua dari Barat berarti ditolak. Sebabnya, terdapat sejumlah persamaan antara Islam dan filsafat dan sains Barat. Oleh sebab itu, seseorang yang mengislamkan ilmu, ia perlu memenuhi pra-syarat, yaitu ia harus mampu mengidentifikasi pandangan-hidup Islam (the Islamic worldview) sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat. Pandangan-hidup dalam Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kajian kepada metafisika terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Jadi, pandangan-hidup Islam mencakup dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final. Pandangan–hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tawhid). Pandangan-hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ibadahnya, doktrinya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi. Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan progresifitas, perkembangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat jelas (al-ma'lum min al-din bi al-darurah). Pandangan-hidup Islam terdiri dari berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, pencipatan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan. Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan. Pandangan-hidup Islam dibangun atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama lain.
Setelah mengetahui secara mendalam mengenai pandangan-hidup Islam dan Barat, maka proses Islamisasi baru bisa dilakukan. Sebabnya, Islamisasi ilmu pengetahuan saat ini (the Islamization of present-day knowledge), melibatkan dua proses yang saling terkait:
i) mengisoliir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat (5 unsur yang telah disebutkan sebelumnya), dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi harus diislamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, jika tidak sesuai dengan pandangan-hidup Islam, maka fakta menjadi tidak benar. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika; penafsiran historisitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, hubung kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
ii) memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant. Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia dari magik, mitologi, animisme, tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan Islam, dan kemudian dari kontrol sekular kepada akal dan bahasanya. Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan (Ðann) dan argumentasi kosong (mirÉ’) menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan materi. Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi, makna dan ungkapan sekular.
D. Filsafat Ilmu Dalam Perspektif Al-Qur,an
Di dalam Al Qur’an  terdapat kata-kata tentang ilmu  dalam berbagai bentuk (‘ilma, ‘ilmi, ‘ilmu, ‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum) terulang sebanyak 99 kali, (Ali Audah, 1997: 278-279). Delapan bentuk ilmu tersebut di atas dalam terjemah Al Qur’an Departemen Agama RI, cetakan Madinah Munawwarah (1990), diartikan dengan: pengetahuan, ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan keyakinan. Sedangkan kata ‘ilmu itu sendiri berasal dari bahasa Arab ‘alima = mengetahui, mengerti. Maknanya, seseorang dianggap mengerti karena sudah mengertahui obyek atau fakta lewat pendengaran, penglihatan dan hatinya.
Kata ilmu dalam pengertian teknis operasional ialah  kesadaran tentang realitas. Pengertian ini didapat dari makna-makna ayat yang ada di dalam Al Qur’an. Orang yang memiliki kesadaran tentang realitas lewat pendengaran, penglihatan dan hati akan berfikir rasional dalam menggapai kebenaran (QS. 17 : 36).
"Pengetahuan (‘ilm) boleh merupakan suatu persepsi terhadap esensi segala sesuatu, mahiyat "suatu bentuk persepsi yang bersahaja yang tidak disertai oleh hukum atau boleh merupakan oppersepsi; yaitu hukum bahwa sesuatu hal adalah hal itu" (Ibn Khaldun, 2000: 669).
"Ilmu itu harus dinilai dengan konkrit. Hanya  kekuatan intelektual   yang menguasai yang konkritlah yang kana memberi kemungkinan kecerdasan manusia itu melampaui yang konkrit" (Muhammad Iqbal, 1966, 129).
 Menyimak dari pandangan Ibn Khaldun dan Iqbal tentang ilmu, dapat ditarik satu garis lurus bahwa ilmu atau realitas kebenaran akan hadir secara utuh dalam persepsi individu, walaupun dalam pemahaman bisa berbeda atas suatu realitas atau obyek. Kehadiran secara utuh dari suatu obyek terhadap subyek adalah suatu realitas yang tak bisa dielakkan. Inilah yang oleh Iqbal dikatakan bahwa ilmu itu harus dinilai dengan konkrit, yakni ilmu harus bisa terukur kebenarannya.
 Jika ilmu diistilahkan sebagai kesadaran tentang realitas, maka realitas yang paling utama ketika manusia itu lahir adalah alam semesta (mikro kosmos dan makro kosmos). Di alam inilah manusia mulai mendengar, melihat dan merasakan obyek-obyek yang dialaminya berupa suara, bentuk dan perasaan. Alam ini merupakan satu titik kesadaran awal  untuk mengenal realitas terutama diri sendiri. Setelah manusia mengalami kedewasaan dan sempurna akalnya, maka ia mulai berpikir tentang  metarealitas, yakni   suatu kekuatan supernatural yang ikut bermain dan sibuk mengurus proses-proses penciptaan dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi tiada. Atau dari mati menjadi hidup, kemudian dari hidup menjadi mati (QS.2: 28).
Kehadiran alam fisika sebagai realitas menjadi jembatan untuk melihat sesuatu yang bersifat metafisika yakni Yang Ada di balik fisik dan ciptaan-ciptaan itu. Keragaman alam semesta yang tak terhingga oleh manusia merupakan kenyataan-kenyataan yang tak bisa ditolak begitu saja tanpa argumentasi yang logis, yang berangkat dari kesadaran tentang realitas yang diperoleh dari pendengaran, penglihatan dan hati.
Dengan demikian manusia akan menyadari dengan sendirinya tentang kehariran alam semesta sebagai realitas fisika dan kehadiran Allah SWT sebagai realitas metafisika. Alam fisika sebagai realitas terbuka, sedangkan alam metafisika sebagai realitas tertutup. Alam semesta yakni mikro kosmos dan makro kosmos hadir sebagai realitas untuk mengukuhkan eksistensi Tuhan sebagai pemilik mutlak yang tak pernah punah, sedangkan alam semesta itu sendiri bisa punah sebagai suatu yang nisbi alias tidak kekal.
Alam semesta adalah sumber ilmu yang kedua yang merupakan ciptaan Allah SWT karena sebelum adanya alam semesta, Allah lebih dahulu ada yang tidak berpermulaan dan tak berakhir. Sedangkan alam memiliki permulaan dan masa akhir. Oleh karena itu ilmu dari Allah yang bersifat langsung bersifat absolut, sedangkan ilmu lewat alam semesta bersifat relatif.
"Menurut Al Qur’an, mempelajari kitab alam akan mengungkapkan     rahasia-rahasianya kepada manusia dan menampakkan     koherensi      (keterpaduan), konsistensi dan aturan di dalamnya. Ini akan memungkinkan manusia untuk menggunakan ilmunya sebagai perantara untuk menggali kekayaan-kekayaan dan sumber-sumber yang tersembunyi di dalam alam dan mencapai kesejahteraan material lewat penemuan-penemuan ilmiahnya (Ghulsyani, 1990:54).
Al Qur’an sebagai kitab "tertutup"  yang merupakan kondifikasi wahyu yang menurut teori-teori keilmuan yang tak terhingga penafsirannya sampai hari Qiyamat. Sedangkan alam semesta sebagai kitab "terbuka" yang tak terhingga pula untuk dieksperimen sampai hari Qiyamat. Dua sumber mata air (pengetahuan, ilmu dan teknologi), yang abadi dan tak pernah kering dalam konteks kehidupan keduniaan. Al Qur’an sebagai "kitab tertutup" dan alam semesta sebagai "kitab terbuka" saling memperkuat kedudukannya masing-masing. Artinya, Al Qur’an memuat informasi-informasi tentang material dan struktur alam semesta, sedangkan rahasia-rahasia alam semesta bisa kita cari informasinya lewat Al Qur’an dan alam semesta itu sendiri, karena Al Qur’an merupakan wahyu Allah dan alam adalah ciptaan Allah. Dengan demikian, realitas kebenaran bisa ditemukan di dalam Al Qur’an sekaligus juga bisa ditemukan pada alam semesta karena berasal dari satu sumber yakni Allah SWT Maha Kreatif alias Pencipta.
Selain alam semesta dan Al Qur’an, masih ada satu sumber lagi yakni Hadits yang berupa petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW, berdasarkan pemberitahuan atau aplikasi dari petunjuk wahyu kepada    Nabi SAW terutama pengetahuan dan ilmu tentang tata cara beribadah mahdhah yang kita lakukan selama ini seperti; shalat, zakat, puasa, dan haji, lebih banyak kita mendapat model atau contoh langsung dari Rasulullah SAW, yang secara esensial tidak bisa diubah atau ditukar dengan cara-cara yang lain.
Di dalam kitab As-Sunnah Mashdaran li Al-Ma’rifah wa Al-Hadharah, dijelaskan bahwa "Sunnah merupakan sumber kedua setelah Al Qur’an bagi fikih dan hukum Islam. Sunnah juga merupakan sumber bagi da’wah dan bimbingan bagi seorang muslim, ia juga merupakan sumber ilmu pengetahuan religius (keagamaan), humaniora (kemanusiaan), dan sosial yang dibutuhkan umat manusia untuk meluruskan jalan mereka, membetulkan kesalahan mereka ataupun melengkapi pengetahuan eksperimental mereka" (Yusuf Al Qardhawy, 1997:101).

E.Rasionalitas dan Spiritualitas Dalam Ilmu
Berangkat dari kesadaran tentang realitas atas tangkapan indra dan hati, yang kemudian diproses oleh akal untuk menentukan sikap mana yang benar dan mana yang salah terhadap suatu obyek atau relitas. Cara seperti ini bisa disebut sebagai proses rasionalitas dalam ilmu. Sedangkan proses rasionalitas itu mampu mengantarkan seseorang untuk memahami metarsional sehingga muncul suatu kesadaran baru tentang realitas metafisika, yakni apa yang terjadi di balik obyek rasional yang bersifat fisik itu. Kesadaran ini yang disebut sebagai transendensi, di dalam  firman  Allah  (QS. 3: 191), artinya:
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.
Bagi orang-orang yang beriman, proses rasionalitas dan spriritualitas dalam ilmu bagaikan keeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi yang lain merupakan satu kesatuan yang bermakna. Bila kesadarannya menyentuh realitas alam semesta maka biasanya sekaligus kesadarannya menyentuh alam spiritual dan begitupun sebaliknya.
Hal ini berbeda dengan kalangan yang hanya punya sisi pandangan material alias sekuler. Mereka hanya melihat dan menyadari keutuhan alam semesta dengan paradigma materialistik sebagai suatu proses kebetulan yang memang sudah ada cetak birunya pada alam itu sendiri. Manusia lahir dan kemudian mati adalah siklus alami dalam mata rantai putaran alam semesta. Atas dasar paradigma tersebut, memunculkan kesadaran tentang realitas alam sebagai obyek yang harus dieksploitasi dalam rangka mencapai tujuan-tujuan hedonistis yang sesaat. Alam menjadi laboratorium sebagai tempat uji coba keilmuan atheistic, di mana kesadaran tentang Tuhan atau spiritualitas tidak tampak bahkan sengaja tidak dihadirkan             dalam wacana pengembangan ilmu. Orientasi seperti ini yang oleh Allah dikatakan    dalam Al Qur’an, bukan untuk menambah kesyukuran dan ketakwaan, melainkan   fenomena   alam   semesta  yang diciptakan-Nya itu menambah sempurnanya kekufuran mereka (QS 17: 94-100)
Filsafat adalah pemikiran, sedangkan ilmu adalah ‘kebenaran’. Gampangnya, filsafat ilmu adalah pemikiran tentang kebenaran. Apakah benar itu benar? Kalau itu benar maka berapa kadar kebenarannya.? Apakah ukuran-ukuran kebenaran itu? Di mana otoritas kebenaran itu? Dan apakah kebenaran itu abadi?
Tujuan filsafat dan ilmu yakni sama-sama mencari kebenaran. Hanya saja filsafat tidak berhenti pada satu garis kebenaran, tetapi ingin terus mencari kebenaran kedua, ketiga dan seterusnya sampai habis energinya. Sedangkan ilmu kadang sudah merasa cukup puas dengan satu kebenaran dan bila ilmu itu disuntik dengan filsafat alias pemikiran maka ia kan bergerak maju untuk mencari kebenaran yang lain lagi.
Filsafat itu ibarat energi dan ilmu itu umpama mesin listrik. Jika energi dipasok ke turbin mesin, maka mesin akan bekerja menghasilkan setrum yang dipakai untuk menyalakan lampu yang memancarkan cahaya.
Filsafat dan ilmu bahu-membahu mengusung kebenaran, namun kebenaran filsafat dan kebenaran ilmu masih tetap saja bersifat relatif sebagai proses yang tidak pernah selesai. Maksudnya, bahwa  kebenaran yang didapatkan oleh filsafat dan  ilmu tak  pernah  selesai  dan   terus berproses dan menjadi, yang dalam hukum dialektika    (Thesis,  Antithesis,  Sinthesis) dan seterusnya sebagai tanda bahwa manusia, pemikirannya dan ciptaannya bersifat relatif. Sedangkan kebenaran itu sendiri identik dengan Pencipta kebenaran. Oleh karena itu, yang Maha Benar hanyalah Allah SWT (QS 34: 48)
Dalam filsafat illuminasi, "Tuhan kosmos ini adalah Sumber Cahaya, yang dari-Nya wujud diri yang beradiasi memancarkan suatu cahaya yang menyingkap semua wujud, dan ketika tiada lagi dunia privasi, non-wujud, dan kegelapan bersanding dengan dosa. Menurut epistimologi illuminasi, pengetahuan diperoleh ketika tidak ada rintangan antara keduanya. Dan hanya dengan begitu, subyek mengetahui dapat menangkap esensi obyek" (Ziai, 1998: 13)
F. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, “revolusi epistemologis” diperlukan sebagai jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda konsep ilmu dalam budaya dan peradaban Barat. Pandangan-hidup dalam Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kajian kepada metafisika terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Jadi, pandangan-hidup Islam mencakup dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final.
Pandangan–hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tawhid). Pandangan-hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ibadahnya, doktrinya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi. Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan progresifitas, perkembangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat jelas (al-ma'lum min al-din bi al-darurah). Pandangan-hidup Islam terdiri dari berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, pencipatan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan. Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan.

F. KEPUSTAKAAN
Achmad Sanusi (1998), Filsafat Ilmu, Teori Keilmuan dan Metode Penelitian, Bandung: Program Pasca Sarjana IKIP Bandung.
-------------------(1999), Titik Balik Paradigma Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Orasi limiah Pada Wisuda UHAMKA tanggal 31 Juli 1999, Jakarta: Majelis Pendidikan Tinggi Muhammadiyah UHAMKA.
Branner, Julia. (2002), Memadu Met ode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Samarinda: Pustaka Pelajar.
Capra, Fritjop, (1998), Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan Kebangkitan .Kebudayaan, Terjemahan M. Thoyibi, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Conny R. Semiawan, dkk. (1988), Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Bandung: Remadja karya.
Endang Saefuddin Anshari, (1982), Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu.
Himsworth, Harold (1997), Pengetahuan Keilmuan dan Pemikiran Filosofi, (Terjemahan Achmad Bimadja, Ph.D), Bandung: ITB Bandung.
Ismaun, (2002), Filsafat Ilmu, Materi Kuliah, Bandung (Terbitan Khusus).
Jammer, Max (1999), Einsten and Religion: Physics and Theology, New Jersey: Princeton University, Press.
Kuhn, Thomas S, (2000), The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Terjemahan Tjun Surjaman, Bandung: Rosda).
Noeng Muhadjir, (1996), Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Iii, Yogyakarta. Rake Sarasin.
 --------------------, (1998), Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis, Fungsional Komparatif, Yogyakarta: Rake Sarasin.
Redja Mudyahardjo, (2001), Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar, Bandung: Rosda.
Sidi Gazalba, (1973), Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang.
Sudarto (1997), Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Tibawi, AL, (1972), Islamic Education, London: Luzak & Company Ltd.
Titus, Harold. H, (1959), Living Issues in Philosophy: An Introductory Book of Readings, New York: The Mac Millan Company.
Zuhairini dkk. (1995), Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara
Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 88; 99-108
Adi Setia, “Special Feature of The Philosophy of Science of Syed Muhammad Naquib al-Attas,” dalam Islam & Science 1 (2003), No. 2, 189.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 49. Sekalipun Risalah diterbitkan pada tahun 2001, namun sebenarnya naskah tersebut sudah ada sejak tahun 1973. Gagasan yang ada di dalam naskah tersebut dikembangkan menjadi beberapa karya monograf.
Naquib al-Attas, skema struktur epistemologi dalam Adi Setia, “Philosophy of Science of Syed Muhammad Naquib al-Attas,” Islam & Science 1 (2003), No. 2., 189.
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas - An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 237, selanjutnya diringkas The Educational Philosophy.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, 43.